Kamis, 23 Juli 2009

Small Hotel with Ingenious Design

Recently my friend posted a picture in Facebook depicting a hotel in Kediri Central Java. The picture caught my attention because the unique design of the hotel. Although it is a small hotel, nevertheless, it was so well designed.

The hotel use common materials and common construction method, but it was arranged cleverly that make the form unique and genuine. The architect did not stick on ordinary and archtypal form, but dare to go beyond and invent fresh new form.

The design also reflects modesty and simplicity. It does not use many embellishment such as cornices or many ornaments. Instead the beauty simply comes from the form itself as a whole.

Whoever the architect is, he already did a good job.

Sabtu, 18 Juli 2009

Seputar Rangka Atap Baja Ringan [1]

Dewasa ini rangka atap dari baja ringan telah banyak menjadi pilihan masyarakat untuk rumah dan bangunan. Umumnya rangka atap ini dipakai sebagai alternatif pengganti rangka atap konvensional dari kayu, yang harganya semakin tinggi dewasa ini.

Rangka atap baja ringan cocok dipakai untuk bentangan yang tidak terlalu besar (kurang lebih di bawah 6m). Untuk bentangan yang lebar, rangka atap baja (steel) lebih cocok dari segi efisiensi harga dan kekuatan.

Bahan yang dipakai untuk rangka atap baja ringan umumnya adalah galvalume, yaitu campuran seng (zinc), alumunium dan silikon. Sifat bahan ini adalah ringan, tahan karat dan ulet. Kekuatan dari rangka atap baja ringan didapat dari konfigurasi berbentuk rangka sebagai satu kesatuan, istilah teknisnya 'cremona'.

Keunggulan rangka atap baja ringan dibandingkan dengan rangka atap kayu adalah : lebih ekonomis, tahan rayap, bobot lebih ringan, tahan lama (tidak mudah lapuk) dan lebih tahan terhadap api.Walaupun demikian, rangka atap kayu masih juga dikehendaki orang karena keindahannya, yaitu pada rangka atap yang diekspos. Tentu saja tekstur dan nuansa yang ditimbulkan oleh kayu tidak mungkin ditandingi oleh rangka baja ringan.

Pada umumnya rangka atap baja ringan ditawarkan dengan harga berkisar 150 ribu sampai 200 ribu rupiah per m2 luasan atap. Kontraktor atap baja ringan akan membuat perhitungan dengan software tertentu untuk menentukan desain cremona yang sesuai. Genting yang akan dipergunakan untuk bangunan harus ditetapkan sebelumnya karena menentukan jarak reng (batten).

Konsumen perlu memperhatikan ketebalan bahan yang ditawarkan kontraktor. Bahan yang lebih tebal umumnya menandakan kualitas yang lebih baik. Uji dan bandingkan kekakuan berbagai
rangka yang ditawarkan mengingat produk yang tersedia di pasaran untuk baja ringan sangat beragam.

Semoga bermanfaat



Selasa, 14 Juli 2009

Sunlight and Sun Heat in Tropical Climate

Buildings in tropical area has to be adapted with the tropical characteristic to perform well as a shelter. Fail to do so will make the building needs more energy to make it comfortable. Like for lighting and air conditioning. One of the tropical climate characteristic is its abundant sunlight that comes almost all year.


The abundant sunlight provides us with natural source for lighting. So it is good to make numbers of windows around the building to let the sunlight enter the building. However it has to be keep in mind that sunlight also brings more heat and too much lighting can cause discomfort. So it is suggested that we stay in moderate size of windows and opening.


We often see a building with the wall entirely made of glass. Such building is common in subtropical climate with 4 seasons to maximize natural lighting. But despite its appealing modern look, such building is not suitable for tropical climate. Sunlight in tropical area will create enourmus heat inside the room radiates through glass. So in turn it requires a large amount of cooling from air conditioning.










In tropical area such as Indonesia, the sun moves from east to west with 23.5 degree deviation each to north and south. For this reason, it is the best to make windows opening facing north/south direction. Windows facing east and moreover west direction without any obstruction will receive too much direct sunlight, and makes the room too hot

The principle to tackle the problem of heat that comes with the sunlight is to create as much shadow area as possible. This can be obtained by various ways making One solution is to make long roof overhang or creating porch which is a common practice in tropical houses. Another solution is putting solar screen in front of the window or opening which creates some sort of curtain to reduce direct sunlight.

A building that is suitable for tropical climate doesn't have to look old fashioned and traditional. Here is some example of award winning houses that is modern as well as suitable for tropical climate





A house by Alex Santoso uses long overhang to shelter the large windows from direct sunlight.







a house by Willis Kusuma uses transparent overhang and variation of wall recess to create shadow area to give the windows more shelter from sunlight











a house by Andra Matin has a series of solar screen that gives the building a distinctive looks


















a house by Sukendro Sukandra uses a series of solar screen that looks like a curtain






(images came from Skala+ magazine)

Sabtu, 04 Juli 2009

Pemukiman di tepi Kali Code Yogyakarta karya YB Mangunwijaya


YB Mangunwijaya (1929-1999), seorang Romo Katolik yang banyak dikenal sebagai seorang budayawan, sebenarnya juga merupakan seorang arsitek yang sangat istimewa. Bahasa bentuk Romo Mangun sangat orisinil, tidak meniru-niru atau berasosiasi dengan style-style yang ada, melainkan lahir dari pemikiran dan proses kreatifnya sendiri.

Salah satu karya beliau adalah pemukiman di pinggiran kali Code Yogyakarta yang mendapatkan penghargaan internasional Aga Khan Award for Architecture tahun 1992. Pemukiman ini adalah suatu proyek revitalisasi kota yang berbasis partisipasi masyarakat. Di lokasi ini, lingkungan pemukiman yang dulunya kumuh & tidak higienis berhasil ditata dengan cara pemberdayaan masyarakat. Jadi masyarakat sendiri yang diajak membenahi lingkungannya sendiri.

Pada mulanya kampung kali Code adalah pemukiman kumuh di pinggiran Kali Code beranggotakan 30-40 keluarga. Kebanyakan pemukimnya adalah pekerja kasar dan informal di lingkungan sekitar kawasan. Pada tahun 1983 pemerintah bermaksud menggusur pemukiman ini, namun atas permohonan ketua RT Willi Prasetya dan Romo Mangun, rencana tersebut ditangguhkan. Sebagai gantinya diselenggarakan suatu proyek revitalisasi dengan melibatkan 2 koran lokal untuk mendukung pendanaan

Perencanaan dan pembangunan area ini dimulai pada tahun 1983 dan selesai selama kurang lebih 2 tahun. Hampir tidak ada gambar atau dokumen konstruksi dibuat untuk proyek ini. Semua berlangsung secara spontan dan alamiah. Secara umum konstruksi rumah berbentuk huruf A dengan rangka dari bambu, dinding bilik bambu dan atap seng. Hanya tiga tukang kayu dan 2 tukang batu dipekerjakan untuk proyek ini, selebihnya adalah tenaga partisipasi warga dan sukarelawan. Mahasiswa seni rupa ikut terjun sebagai relawan untuk membimbing warga memperindah tampilan luar rumah mereka.

Bahasa estetika dari Kali Code ini adalah bahasa estetika rakyat jelata yang tradisional, berwarna-warni, sederhana tanpa pretensi berindah-indah. Mungkin agak banal, tapi apa adanya. Namun selain estetika visual, dalam proyek ini terpendam juga estetika kemanusiaan yang justru lebih indah. Yaitu bagaimana sesuatu yang dicap jelek, kumuh, tidak bernilai ternyata mampu bertransformasi menjadi sesuatu yang bernilai, bahkan memberi nilai tambah pada estetika perkotaan.

Masih adakah revitalisasi perkotaan semacam ini di Indonesia saat ini ?


Info lebih lanjut, ada di :