YB Mangunwijaya (1929-1999), seorang Romo Katolik yang banyak dikenal sebagai seorang budayawan, sebenarnya juga merupakan seorang arsitek yang sangat istimewa. Bahasa bentuk Romo Mangun sangat orisinil, tidak meniru-niru atau berasosiasi dengan style-style yang ada, melainkan lahir dari pemikiran dan proses kreatifnya sendiri.
Salah satu karya beliau adalah pemukiman di pinggiran kali Code Yogyakarta yang mendapatkan penghargaan internasional Aga Khan Award for Architecture tahun 1992. Pemukiman ini adalah suatu proyek revitalisasi kota yang berbasis partisipasi masyarakat. Di lokasi ini, lingkungan pemukiman yang dulunya kumuh & tidak higienis berhasil ditata dengan cara pemberdayaan masyarakat. Jadi masyarakat sendiri yang diajak membenahi lingkungannya sendiri.
Pada mulanya kampung kali Code adalah pemukiman kumuh di pinggiran Kali Code beranggotakan 30-40 keluarga. Kebanyakan pemukimnya adalah pekerja kasar dan informal di lingkungan sekitar kawasan. Pada tahun 1983 pemerintah bermaksud menggusur pemukiman ini, namun atas permohonan ketua RT Willi Prasetya dan Romo Mangun, rencana tersebut ditangguhkan. Sebagai gantinya diselenggarakan suatu proyek revitalisasi dengan melibatkan 2 koran lokal untuk mendukung pendanaan
Perencanaan dan pembangunan area ini dimulai pada tahun 1983 dan selesai selama kurang lebih 2 tahun. Hampir tidak ada gambar atau dokumen konstruksi dibuat untuk proyek ini. Semua berlangsung secara spontan dan alamiah. Secara umum konstruksi rumah berbentuk huruf A dengan rangka dari bambu, dinding bilik bambu dan atap seng. Hanya tiga tukang kayu dan 2 tukang batu dipekerjakan untuk proyek ini, selebihnya adalah tenaga partisipasi warga dan sukarelawan. Mahasiswa seni rupa ikut terjun sebagai relawan untuk membimbing warga memperindah tampilan luar rumah mereka.
Bahasa estetika dari Kali Code ini adalah bahasa estetika rakyat jelata yang tradisional, berwarna-warni, sederhana tanpa pretensi berindah-indah. Mungkin agak banal, tapi apa adanya. Namun selain estetika visual, dalam proyek ini terpendam juga estetika kemanusiaan yang justru lebih indah. Yaitu bagaimana sesuatu yang dicap jelek, kumuh, tidak bernilai ternyata mampu bertransformasi menjadi sesuatu yang bernilai, bahkan memberi nilai tambah pada estetika perkotaan.
Masih adakah revitalisasi perkotaan semacam ini di Indonesia saat ini ?
Info lebih lanjut, ada di :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar