Sabtu, 14 November 2009

Seputar Rangka Atap Baja Ringan [2]

Beberapa saat yang lalu saya menggunakan rangka atap baja ringan pada salah satu proyek kami. Pemasangan rangka atap tersebut merubah pandangan saya, bahwa rangka atap ini hanya cocok untuk bentang-bentang pendek. Faktanya rangka atap yang kami pasang mempunyai bentang 9m dan cukup kuat.

Dari segi keekonomian, rangka atap baja ringan lebih murah daripada rangka atap baja. Namun perlu disadari bahwa pertimbangan sistem struktur secara keseluruhan harus dilakukan untuk menentukan pilihan.



Kebetulan pada proyek kami, sistem struktur yang digunakan adalah beton bertulang, dengan demikian dapat mengakomodasi persyaratan baja ringan yang menuntut jarak antara kuda-kuda yang lebih rapat. Dalam hal ini adalah sekitar 2.6m untuk penutup atap spandek. Bandingkan dengan kuda-kuda baja yang biasanya dipasang pada jarak 6m.

Kesimpulannya, kuda-kuda ringan juga dapat dipakai untuk bentang lebar, namun perlu diperhatikan bahwa jarak antara kuda-kuda lebih rapat sehingga perlu penyesuaian pada struktur di bawahnya.

Kamis, 23 Juli 2009

Small Hotel with Ingenious Design

Recently my friend posted a picture in Facebook depicting a hotel in Kediri Central Java. The picture caught my attention because the unique design of the hotel. Although it is a small hotel, nevertheless, it was so well designed.

The hotel use common materials and common construction method, but it was arranged cleverly that make the form unique and genuine. The architect did not stick on ordinary and archtypal form, but dare to go beyond and invent fresh new form.

The design also reflects modesty and simplicity. It does not use many embellishment such as cornices or many ornaments. Instead the beauty simply comes from the form itself as a whole.

Whoever the architect is, he already did a good job.

Sabtu, 18 Juli 2009

Seputar Rangka Atap Baja Ringan [1]

Dewasa ini rangka atap dari baja ringan telah banyak menjadi pilihan masyarakat untuk rumah dan bangunan. Umumnya rangka atap ini dipakai sebagai alternatif pengganti rangka atap konvensional dari kayu, yang harganya semakin tinggi dewasa ini.

Rangka atap baja ringan cocok dipakai untuk bentangan yang tidak terlalu besar (kurang lebih di bawah 6m). Untuk bentangan yang lebar, rangka atap baja (steel) lebih cocok dari segi efisiensi harga dan kekuatan.

Bahan yang dipakai untuk rangka atap baja ringan umumnya adalah galvalume, yaitu campuran seng (zinc), alumunium dan silikon. Sifat bahan ini adalah ringan, tahan karat dan ulet. Kekuatan dari rangka atap baja ringan didapat dari konfigurasi berbentuk rangka sebagai satu kesatuan, istilah teknisnya 'cremona'.

Keunggulan rangka atap baja ringan dibandingkan dengan rangka atap kayu adalah : lebih ekonomis, tahan rayap, bobot lebih ringan, tahan lama (tidak mudah lapuk) dan lebih tahan terhadap api.Walaupun demikian, rangka atap kayu masih juga dikehendaki orang karena keindahannya, yaitu pada rangka atap yang diekspos. Tentu saja tekstur dan nuansa yang ditimbulkan oleh kayu tidak mungkin ditandingi oleh rangka baja ringan.

Pada umumnya rangka atap baja ringan ditawarkan dengan harga berkisar 150 ribu sampai 200 ribu rupiah per m2 luasan atap. Kontraktor atap baja ringan akan membuat perhitungan dengan software tertentu untuk menentukan desain cremona yang sesuai. Genting yang akan dipergunakan untuk bangunan harus ditetapkan sebelumnya karena menentukan jarak reng (batten).

Konsumen perlu memperhatikan ketebalan bahan yang ditawarkan kontraktor. Bahan yang lebih tebal umumnya menandakan kualitas yang lebih baik. Uji dan bandingkan kekakuan berbagai
rangka yang ditawarkan mengingat produk yang tersedia di pasaran untuk baja ringan sangat beragam.

Semoga bermanfaat



Selasa, 14 Juli 2009

Sunlight and Sun Heat in Tropical Climate

Buildings in tropical area has to be adapted with the tropical characteristic to perform well as a shelter. Fail to do so will make the building needs more energy to make it comfortable. Like for lighting and air conditioning. One of the tropical climate characteristic is its abundant sunlight that comes almost all year.


The abundant sunlight provides us with natural source for lighting. So it is good to make numbers of windows around the building to let the sunlight enter the building. However it has to be keep in mind that sunlight also brings more heat and too much lighting can cause discomfort. So it is suggested that we stay in moderate size of windows and opening.


We often see a building with the wall entirely made of glass. Such building is common in subtropical climate with 4 seasons to maximize natural lighting. But despite its appealing modern look, such building is not suitable for tropical climate. Sunlight in tropical area will create enourmus heat inside the room radiates through glass. So in turn it requires a large amount of cooling from air conditioning.










In tropical area such as Indonesia, the sun moves from east to west with 23.5 degree deviation each to north and south. For this reason, it is the best to make windows opening facing north/south direction. Windows facing east and moreover west direction without any obstruction will receive too much direct sunlight, and makes the room too hot

The principle to tackle the problem of heat that comes with the sunlight is to create as much shadow area as possible. This can be obtained by various ways making One solution is to make long roof overhang or creating porch which is a common practice in tropical houses. Another solution is putting solar screen in front of the window or opening which creates some sort of curtain to reduce direct sunlight.

A building that is suitable for tropical climate doesn't have to look old fashioned and traditional. Here is some example of award winning houses that is modern as well as suitable for tropical climate





A house by Alex Santoso uses long overhang to shelter the large windows from direct sunlight.







a house by Willis Kusuma uses transparent overhang and variation of wall recess to create shadow area to give the windows more shelter from sunlight











a house by Andra Matin has a series of solar screen that gives the building a distinctive looks


















a house by Sukendro Sukandra uses a series of solar screen that looks like a curtain






(images came from Skala+ magazine)

Sabtu, 04 Juli 2009

Pemukiman di tepi Kali Code Yogyakarta karya YB Mangunwijaya


YB Mangunwijaya (1929-1999), seorang Romo Katolik yang banyak dikenal sebagai seorang budayawan, sebenarnya juga merupakan seorang arsitek yang sangat istimewa. Bahasa bentuk Romo Mangun sangat orisinil, tidak meniru-niru atau berasosiasi dengan style-style yang ada, melainkan lahir dari pemikiran dan proses kreatifnya sendiri.

Salah satu karya beliau adalah pemukiman di pinggiran kali Code Yogyakarta yang mendapatkan penghargaan internasional Aga Khan Award for Architecture tahun 1992. Pemukiman ini adalah suatu proyek revitalisasi kota yang berbasis partisipasi masyarakat. Di lokasi ini, lingkungan pemukiman yang dulunya kumuh & tidak higienis berhasil ditata dengan cara pemberdayaan masyarakat. Jadi masyarakat sendiri yang diajak membenahi lingkungannya sendiri.

Pada mulanya kampung kali Code adalah pemukiman kumuh di pinggiran Kali Code beranggotakan 30-40 keluarga. Kebanyakan pemukimnya adalah pekerja kasar dan informal di lingkungan sekitar kawasan. Pada tahun 1983 pemerintah bermaksud menggusur pemukiman ini, namun atas permohonan ketua RT Willi Prasetya dan Romo Mangun, rencana tersebut ditangguhkan. Sebagai gantinya diselenggarakan suatu proyek revitalisasi dengan melibatkan 2 koran lokal untuk mendukung pendanaan

Perencanaan dan pembangunan area ini dimulai pada tahun 1983 dan selesai selama kurang lebih 2 tahun. Hampir tidak ada gambar atau dokumen konstruksi dibuat untuk proyek ini. Semua berlangsung secara spontan dan alamiah. Secara umum konstruksi rumah berbentuk huruf A dengan rangka dari bambu, dinding bilik bambu dan atap seng. Hanya tiga tukang kayu dan 2 tukang batu dipekerjakan untuk proyek ini, selebihnya adalah tenaga partisipasi warga dan sukarelawan. Mahasiswa seni rupa ikut terjun sebagai relawan untuk membimbing warga memperindah tampilan luar rumah mereka.

Bahasa estetika dari Kali Code ini adalah bahasa estetika rakyat jelata yang tradisional, berwarna-warni, sederhana tanpa pretensi berindah-indah. Mungkin agak banal, tapi apa adanya. Namun selain estetika visual, dalam proyek ini terpendam juga estetika kemanusiaan yang justru lebih indah. Yaitu bagaimana sesuatu yang dicap jelek, kumuh, tidak bernilai ternyata mampu bertransformasi menjadi sesuatu yang bernilai, bahkan memberi nilai tambah pada estetika perkotaan.

Masih adakah revitalisasi perkotaan semacam ini di Indonesia saat ini ?


Info lebih lanjut, ada di :

















Senin, 29 Juni 2009

Review Tropicana Residence

Suatu kompleks perumahan baru bertajuk Tropicana Residence di Batam Centre menangkap perhatian saya karena keunikannya.

Perumahan ini disusun dengan konfigurasi cluster dengan taman dan pedesterian di tengah-tengahnya (foto 1). Kendaraan bermotor tidak memiliki akses ke dalam cluster dan harus diparkir di luar. Antara rumah satu dengan yang lain tidak dipisahkan pagar sehingga perbedaan antar kavling tidak begitu terasa. Suasana di dalam cluster sangat tenang, hijau dan eksklusif.
Namun di sisi lain, konfigurasi semacam ini juga belum tentu mudah diterima masyarakat. Dilema yang muncul adalah karena mobil tidak bisa diparkir di depan garasi pribadi sebagaimana perumahan pada umumnya. Jikalau hari hujan, hal ini bisa menjadi problem tersendiri. Dilema yang lain adalah batas properti yang tidak begitu nyata sehingga dapat menimbulkan rasa kurang nyaman bagi penghuni, karena merasa orang dapat dengan mudahnya lewat di area miliknya.

foto 1












Secara umum bangunan di perumahan ini bergaya modern minimalis dengan bukaan kaca yang sangat banyak. Secara visual sangat stylish (foto2). Namun kembali desain bentukan seperti ini memunculkan dilema. Pemakaian kaca yang sangat eksesif akan membuat cahaya matahari leluasa memanaskan ruangan. Apalagi untuk rumah yang menghadap timur dan barat. Dilema yang lain adalah bagaimana desain teralis yang sesuai untuk rumah semacam ini ? Mengingat pemakaian teralis sudah menjadi prasyarat keamanan dari sebuah rumah. Kemudian muncul juga masalah desain tabir/korden yang sesuai

Kesimpulannya : secara desain baik, tapi tidak untuk penghuni konservatif.

Suatu catatan lain : masih belum ada akses jalan beraspal ke perumahan ini. Saya rasa ini menjadi minus poin yang cukup besar.

foto 2

Minggu, 28 Juni 2009

JANGAN MEMBATASI DIRI HANYA KARENA MERASA TIDAK MAMPU
Di Bangalore, India, gajah besar hanya diikat di tiang pancang kecil yang sebenarnya dengan mudah dicabutnya. Aneh, mengapa gajah besar itu tak berupaya berontak. Jawabannya karena ketika masih kecil gajah itu berulang kali mencoba, tetapi gagal mematahkan tiang kecil itu. Kegagalan itu mewarnai pikirannya, bahkan sampai besar gajah itu tak pernah berusaha lagi untuk melepaskan diri.Sama seperti gajah kecil itu, acap kali perasaan ketertinggalan dan keterbelakangan memberi kesimpulan dalam otak kita.


JANGAN MEMBATASI DIRI HANYA KARENA MELIHAT SISI NEGATIF SUATU PERSOALAN
Bayangkan kita berada dalam kamar gelap dengan hanya secercah cahaya lilin kecil di tengah ruangan. Cahaya lilin itu barangkali tak sampai menyinari sepertiga ruangan, tetapi orang tak akan mencari sesuatu di tempat gelap. Orang akan melihat lewat sedikit sinar yang masuk ke mata. Inilah hukum 80 persen melihat persoalan dan 20 persen melihat kemungkinan jalan keluar. Melihat 80 persen persoalan artinya kita langsung menempatkan diri di bawah langit mendung berawan tebal, lalu menempatkan seluruh metabolisme tubuh, pikiran, dan perasaan ke tempat gelap. Sementara walaupun hanya dengan berkonsentrasi pada 20 persen jalan keluar, membawa kita menatap matahari, merasakan embusan udara, dan memberi harapan. Ada sinar juga di sela-sela persoalan dan keputusasaan.
Singkatnya, melihat sukses pasti lebih baik daripada melihat gagal. Berpikir benar pasti akan menghasilkan sesuatu yang benar.
dari Kompas, 27 Juni 2009Agung Adiprasetyo CEO Kompas Gramedia

Minggu, 21 Juni 2009

Taman Nagoya Indah [2]


Taman Nagoya Indah, Pulau Batam 2009, dalam proses pembangunan

About Morphosis





Morphosis is definitely one of my favourite designer firm. Its works reflects an architecture that is suitable for recent development in modern society.




Thom Mayne, with Michael Rotondi, founded Morphosis in 1972 to develop an architecture that would eschew the normal bounds of traditional forms. Beginning as an informal collaboration of designers that survived on non-architectural projects, its first official commission was a school in Pasadena, attended by Mayne's son. Publicity from this project led to a number of residential commissions, including the Lawrence Residence.
Since then, Morphosis has grown into prominent design practice, with completed projects worldwide. Under the Design Excellence program of the United States government's General Service Administration, Thom Mayne has become a primary architect for federal projects. Recent commissions include: graduate housing at the
University of Toronto; the San Francisco Federal Building; the University of Cincinnati Student Recreation Center; the Science Center School in Los Angeles, Diamond Ranch High School in Pomona, California; and the Wayne L. Morse United States Courthouse in Eugene, Oregon.



Morphosis's Design Philosphy

Morphosis’s design philosophy arises from an interest in producing work with a meaning that can be understood by absorbing the culture for which it was made. This is in opposition to typical architectural philosophies which overlay meaning from outside influences and are distant from the question at hand.The word “metamorphosis” (from which the name Morphosis is derived) means a “change in form or transformation.” For Morphosis this reflects a design process intuitively embedded within an increasingly groundless modern society that is exemplified by the shifting landscape of Los Angeles (the firm’s home). Their working method values contradiction, conflict, and change, and understands each project as a dynamic entity. Thom Mayne's use of unconventional forms and materials and the ability to deliver innovative work on a tight budget has made him the government's favorite architect. Thom Mayne is know for the use of glass, concrete and steel in construction and space saving and energy efficiency in his designs.The work of Morphosis has a layered quality. The designs often include multiple organizational systems which find unique expression while contributing to a coherent whole. Visually, the firm’s architecture includes sculptural forms which often appear to arise effortlessly from the landscape. In recent years this has been increasingly made possible through the use of computational design techniques which simplify the construction of complex forms.

Proposal untuk Taipei Performing Art Center oleh Morphosis

Morphosis, sebuah biro arsitektur asal California menciptakan sebuah desain yang futuristik untuk Taipei Performing Art Center.Desain bangunan ini didasari konsepsi bahwa sebuah teater bukan merupakan wadah elitis, melainkan inklusif. Akses publik dengan wajah bangunan yang mencerminkan fungsi di dalamnya dengan beragam material menandai bangunan yang futuristik ini. Lebih lengkap lagi di http://www.designboom.com/weblog/cat/9/view/5743/morphosis-architects-taipei-performing-arts-center-proposal.html











Sabtu, 20 Juni 2009

Between Style & Design Philosophy

All of design philosophy will at last fall from grace to become merely a design style

Apa arti Arsitektur Minimalis ? Post Modern ? Modern ?


Semua emblem di atas biasanya ditempelkan pada style bangunan tertentu.Arsitektur Minimalis bergaya kotak-kotakArsitektur Post Modern ditandai dengan hadirnya elemen-elemen portal lengkung & warna-warna yang ngepop.Arsitektur modern ditandai dengan bangunan yang banyak elemen logam & kacanya.

Sedikit yang peduli bahwa bentuk-bentuk bangunan itu ada karena dilandasi suatu filosofi desain tertentu.

Misalnya arsitektur modern berlandaskan filosofi 'forms follows function' yaitu bahwa suatu bentuk lahir dari tuntutan fungsi yang harus dipenuhi.
Arsitektur Post Modern kemudian menegasikan premis di atas, bahwa selain unsur fungsional, suatu bentuk juga harus mewadahi elemen vernakular, elemen sosial budaya dan kontekstual dari bentuk tersebut.Dengan demikian bentukan portal-portal klasik memperoleh pembenaran dari sisi Post Modern, walaupun dari segi fungsional bentukan tersebut dapat dibuat lebih sederhana (kotak saja)
Arsitektur minimalis berangkat dari pemikiran bahwa 'less is more', kesederhanaan sesungguhnya lebih mulia dari keanekaragaman. Mirip dengan prinsip arsitektur modern yang menomorsatukan bentukan yang fungsional. Mirip dengan filosofi Zen yang mengagungkan kekosongan.

Namun segala macam tori dan filosofi di atas pada akhirnya akan jatuh menjadi sesuatu 'style' saja. Pengguna/pemilik bangunan sebagian besar tidak terlalu peduli dengan filosofi desain bangunan miliknya. Buat mereka, yang terpenting adalah bangunan terlihat indah (sesuai selera mereka), up to date, berkelas dsb. Maka yang terjadi adalah peniruan dan pengulangan.

Hal ini sering menjadi bahan pemikiran penulis dalam berpraksis. Mungkinkah filosofi desain hanya sekedar konsumsi elitis saja dan hanya menjadi sebuah background knowledge dalam praksis arsitektur ?


seperti minimalis, padahal Arsitektur Modern, karya Le Corbusier

















seperti minimalis, padahal Post Modern, karya Peter Eisenmann







seperti minimalis, padahal Arsitektur Post Modern, karya Peter Eisenmann








mungkin inilah yang sebenarnya Arsitektur Minimalis, sebuah kapel karya Tadao Ando. Filosofi Zen sangat kuat terasa di sini














satu lagi karya Tadao Ando dengan nafas Zen-nya. Arguably the real minimalist


Taman Nagoya Indah [1]

Taman Nagoya Indah - P.Batam
Dalam proses perancangan

Seaside House - Tg.Pinang

Seaside House - Tg. Pinang
Dalam proses perancangan